MAKALAH
SEJARAH
PERADILAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah "Hukum Peradilan Islam"
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah "Hukum Peradilan Islam"
Dosen Pembimbing :
Zain Alwi Arafat, M.HI.
Disusun Oleh :
Fauzan
Fauzan
A. Tobroni
Yohanes Irfan
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2012
FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2012
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan
mengucapkan syukur alhamdulillah, akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul " Sejarah Peradian Islam Masa Khulafaur
Rasyidin ", ini guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peradilan
Islam. Kami pun tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari
itu kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Zain Alwi Arafat, M.HI. selaku dosen pembimbing kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah
ini sangatlah jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangan yang
terdapat didalamnya, maka kami berharap agar pembaca dapat memberikan saran
ataupun kritikan yang bersifat membangun agar lebih terciptanya kesempurnaan
pada penulisan tugas berikutnya. Semoga tugas ini dapat bermanfa'at bagi kami
dan umumnya pada pembaca amiiiin…….
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah
SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar
al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA, Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib
RA.
Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah
dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfah yang berarti
pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’
al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW
yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas
sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai
pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’
al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan
perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan
peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri,
melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka
dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam
sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Peradilan Islam pada periode Khalifah Abu Bakar RA.
2. Peradilan Islam pada periode Khalifah Umar RA.
3. Peradilan Islam pada periode Khalifah Utsman RA.
4. Peradilan Islam pada periode Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peradilan
Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar RA
Saidina
Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi
(pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada
pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul
yang mendapatkan wahyu.
Pada zaman
Rasulullah SAW, hakim dijabat oleh Rasulullah SAW sendiri. Bagi daerah yang
jauh, beliau serahkan kursi hakim kepada para sahabat. Misalnya, Ali bin Abi
Thalib pernah ditugaskan menjadi hakim di Yaman. Begitu juga dengan sahabat
Mu’âdz bin Jabal untuk menjadi gubernur dan hakim di Yaman.
Sumber
hukum yang dipakai Rasulullah SAW adalah Alquran dan wahyu kerasulan.
Selanjutnya, Rasulullah SAW mengizinkan para sahabat memutuskan perkara sesuai
dengan ketetapan Allah, Sunnah Rasul, ijtihad atau qiyas. Ini dibuktikan dengan
hadis Mu’âdz bin Jabal tatkala beliau diangkat menjadi gubenur dan hakim di
Yaman:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ
عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ
يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Sesungguhnya Rasulullah SAW pada
saat mengutusnya (Mu’âdz bin Jabal) ke Yaman, Rasul berkata padanya: “Bagaimana
kamu melakukan ketika kamu hendak memutus perkara?” Mu’âdz pun menjawab: “Aku
memutus dengan apa yang terdapat di dalam kitab Allah”. Lalu Rasul bertanya:
“Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Mu’âdz menjawab: “Maka dengan
memakai sunnah Rasulullah SAW”. Lalu Rasul bertanya: “Seumpama tidak ada di
sunnah Rasulullah?” Mu’âdz menjawab: “Aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku
bukan dengan nafsuku”. Lalu Rasulullah SAW menepuk dada Mu’âdz, dan Rasul
bersabda “Segala puji bagi Allah yang telah mencocokkan kerasulan Rasullullah
pada apa yang diridai Allah terhadap Rasulullah”.)
Pada saat
Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan
yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan
hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan
membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan
hukum.
Malahan,
pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-kadang
khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti yang
dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal kekhalifahan
Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada
pemisahan antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif,
yudikatif, dan legislatif, sebaliknya khalifah memegang kekuasaan
yudikatif.
Doktor
‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-Muthî’î di
dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
(... dan pada kekhalifahan Abu
Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-Khatthâb sebagai hakim, maka
adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam Islam bagi khalifah)
Menurut
Doktor ‘Athiyyah, pendapat al-Muthî’î ini tidak dapat dibenarkan. Ini
dikarenakan Umar adalah khalifah yang paling awal menentukan para hakim yang
dikhususkan untuk menjadi hakim bagi pertikaian yang terjadi di antara manusia.
Sedangkan Abu Bakar RA hanya mewakilkannya kepada Umar bin al-Khattab
kadang-kadang untuk melihat kasus-kasus agar dicarikan inti pertikaiannya.
Hanya saja, kekuasaan yudisial ini tidak dimiliki Umar secara khusus, Umar juga
tidak disebut hakim pada zaman Khalifah Abu Bakar RA. Umar juga tidak hanya
bertugas sebagai hakim kadang-kadang, malahan Umar mendapatkan tugas menjadi
imam dan lainnya.
Pada saat
Umar menjabat sebagai hakim selama lebih kurang dua tahun, tidak ada seorangpun
yang datang berperkara. Ini dikarenakan sahabat yang berperkara mengerti bahwa
Umar adalah orang yang sangat tegas, dan pada saat itu orang-orang masih
bersifat wara’, baik, serta bertoleransi sehingga berusaha untuk menolak
terjadinya pertikaian dan pendendaman.
Abu Bakar
RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik pada setiap
wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr
ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu
juga melaksanakan hudûd[1].
Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut ketiga-ketiga
kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
Cara Abu
Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan
Rasulullah SAW sebelumnya. Setiap masalah selalu dirujuk pada Alquran dulu.
Apabila tidak ada barulah beliau merujuk pada sunnah Nabi Muhammad SAW, atau
keputusan yang pernah diambil Rasulullah SAW. Jika sunnah tidak ada, beliau
bertanya kepada sahabat lain apakah ada yang tahu sunnah yang berkaitan dengan
masalah ini. Seumpama ditemukan, maka beliau mengambilnya setelah mencari
kebenaran tersebut. Seumpama tidak ditemukan hukum untuk masalah ini di dalam
Alquran dan sunnah, beliau berijtihad secara bersama-sama dengan sahabat lain (`ijtihâd
jamâ’î) kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum
masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi
masalah-masalah yang berhubungan dengan perseorangan.
Walaupun
Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional
seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit
saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga
beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang
berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan
memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah
benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang
dariku. Aku memohon ampun kepada Allah”.
B. Peradilan
Islam Pada Masa Khalifah Umar bin Khattab
Setelah
wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-Khattab RA.
Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan dalam bidang
politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga mulai sibuk
dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi dan Romawi.
Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk menyelesaikan semua masalah
peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk mengangkat hakim yang berada
di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama kali pemisahan antara kekuasaan
eksekutif dan yudikatif terjadi.
Umar
mengangkat Abu Dardâ’ untuk menjadi hakim di Madinah. Syuraih di Bashrah,
sedangkan Abu Musa al-Asy’ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abi al-‘Âsh di
Mesir, sedangkan untuk Syam pula diberi hakim tersendiri. Akan tetapi menurut
kitab Târîkh al-`Islâm al-Siyâsî, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar
hanya untuk Bashrah saja, sedang Pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih.
Di masa Utsman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah.
Dalam
pemisahan yang dilakukan Umar RA adalah pemisahan yang sesungguhnya, sehingga
kekuasaan eksekutif benar-benar dapat diadili oleh kekuasaan yudikatif. Ini
dibuktikan dengan sebuah riwayat bahwa; suatu ketika Umar RA mengambil seekor
kuda untuk ditawar. Maka beliau menunggangnya untuk mencobanya. Lalu kuda
tersebut rusak. Lelaki itupun bertikaian dengan Umar. Umar RA berkata:
“Ambillah kudamu!”. Lelaki yang memiliki kuda pun menjawab: “Aku tidak mau
menggambilnya, kuda itu sudah rusak!”. Umar pula berkata: “Kamu harus mencari
orang tengah pada apa yang berlaku antara aku dan kamu”. Lelaki itu berkata:
“Aku rida dengan Syuraih dari Irak”. Pada saat dibawa pada Syuraih, Syuraih
berkata: “Kamu mengambilnya dalam keadaaan sehat dan selamat, maka kamulah yang
menggantinya sampai kamu memulangnya dalam keadaan sehat dan selamat”. Lalu
Umar berkata: “Aku sungguh kagum dengannya, maka aku pun mengutusnya menjadi
hakim”. Lalu Umar berkata pada Syuraih: “Apabila telah jelas bagimu sesuatu
melalui Al-quran, maka jangan kamu pertanyakan lagi. Seumpama tidak jelas apa
yang ada di Al-quran, maka carilah sunnah. Seumpama kamu tidak menemuiya di
sunnah, berijtihadlah memakai rasio kamu!”.
Menurut
Doktor ‘Athiyyah, peradilan pada masa Khalifah Umar RA adalah sesuatu yang
mudah, luas, serta bebas dari administrasi yang banyak seperti yang dapat
disaksikan sekarang ini. Hakim pada masa itu tidak memerlukan panitera, juga
sekretaris. Pada masa itu juga tidak diperlukan untuk mengkodifikasi
hukum-hukum peradilan, karena semua hukum keluar di balik hati seorang hakim. Hukum acara juga tidak diperlukan. Ini karena peradilan
masih berada pada awal-awalnya dilahirkan. Belum ada pemikiran untuk ke situ.
Selain dari itu, hakim juga adalah sebagai pelaksana hukum, dalam arti mereka
juga adalah sebagai juru sita, bukan hanya pemutus hukum.
Sumber
hukum yang dipakai Umar RA adalah sama seperti Abu Bakar RA. Beliau memakai
Alquran, lalu sunnah Nabi. Sempama tidak ada, beliau melihat apakah Abu Bakar
RA pernah memutuskan hal serupa. Seumpama tidak ada barulah memanggil para
tokoh untuk dimusyawarahkan. Kalau ada kesepakatan, barulah diputuskan.
Khalifah Umar
RA juga pernah memiliki dustûr al-qudlât, yaitu sebuah pedoman bagi
hakim agung dalam menjalankan peradilan serta dasar-dasar pokok. Dustûr
ini dikenal dengan nama risâlat al-qadlâ’. Isi dari dustûr ini
adalah seperti yang dicatat oleh Imam al-Mâwardî di dalam kitabnya yang
berjudul al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyât al-Dîniyyah:
وَقَدْ اسْتَوْفَى عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رضي الله عنه فِي عَهْدِهِ إلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ شُرُوطَ
الْقَضَاءِ وَبَيَّنَ أَحْكَامَ التَّقْلِيدِ فَقَالَ فِيهِ : أَمَّا بَعْدُ ,
فَإِنَّ الْقَضَاءَ فَرِيضَةٌ مُحْكَمَةٌ وَسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ , فَافْهَمْ إذَا
أُدْلِيَ إلَيْكَ , فَإِنَّهُ لَا يَنْفَعُ تَكَلُّمٌ بِحَقٍّ لَا نَفَاذَ لَهُ ,
وَآسِ بَيْنَ النَّاسِ فِي وَجْهِكَ وَعَدْلِكَ وَمَجْلِسِكَ حَتَّى لَا يَطْمَعَ
شَرِيفٌ فِي حَيْفِكَ وَلَا يَيْأَسَ ضَعِيفٌ مِنْ عَدْلِكَ . الْبَيِّنَةُ عَلَى
مَنْ ادَّعَى وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ ; وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ
الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا ; وَلَا
يَمْنَعُكَ قَضَاءٌ قَضَيْتَهُ أَمْسِ فَرَاجَعْتَ الْيَوْمَ فِيهِ عَقْلَكَ
وَهُدِيتَ فِيهِ لِرُشْدِكَ أَنْ تَرْجِعَ إلَى الْحَقِّ فَإِنَّ الْحَقَّ قَدِيمٌ
, وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ ; الْفَهْمَ
الْفَهْمَ فِيمَا تَلَجْلَجَ فِي صَدْرِكَ مِمَّا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
تَعَالَى وَلَا سُنَّةِ نَبِيِّهِ , ثُمَّ اعْرِفْ الْأَمْثَالَ وَالْأَشْبَاهَ ;
وَقِسْ الْأُمُورَ بِنَظَائِرِهَا , وَاجْعَلْ لِمَنْ ادَّعَى حَقًّا غَائِبًا
أَوْ بَيِّنَةً أَمَدًا يَنْتَهِي إلَيْهِ , فَمَنْ أَحْضَرَ بَيِّنَةً أَخَذْتَ
لَهُ بِحَقِّهِ وَإِلَّا اسْتَحْلَلْتَ الْقَضِيَّةَ عَلَيْهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ
أَنْفَى لِلشَّكِّ وَأَجْلَى لِلْعَمَى ; وَالْمُسْلِمُونَ عُدُولٌ بَعْضُهُمْ
عَلَى بَعْضٍ إلَّا مَجْلُودًا فِي حَدٍّ أَوْ مُجَرَّبًا عَلَيْهِ شَهَادَةُ
زُورٍ أَوْ ظِنِّينًا فِي وَلَاءٍ أَوْ نَسَبٍ , فَإِنَّ اللَّهَ عَفَا عَنْ
الْأَيْمَانِ وَدَرَأَ بِالْبَيِّنَاتِ . وَإِيَّاكَ وَالْقَلَقَ وَالضَّجَرَ
وَالتَّأَفُّفَ بِالْخُصُومِ فَإِنَّ الْحَقَّ فِي مَوَاطِنِ الْحَقِّ يُعَظِّمُ
اللَّهُ بِهِ الْأَجْرَ وَيُحْسِنُ بِهِ الذِّكْرَ , وَالسَّلَامُ .
Dikarenakan
peradilan adalah sebagian dari kewenangan umum, maka yang memiliki kekuasaan
ini (kepala negara) yang dapat menentukan wewenang hakim dalam wilayah
tertentu, dan tidak pada lainnya. Oleh karena itu, Umar bin al-Khattab pada
saat beliau menentukan seseorang untuk menjadi hakim, beliau membatasi wilayah
wewenang mereka hanya pada hal-hal pertikaian perdata saja. Sedangkan
permasalahan pidana dan yang berhubungan dengannya seperti qishâsh, atau
hudûd itu tetap dipegang pemimpin negara, yaitu khalifah sendiri atau
penguasa daerah.
C. Peradilan
Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah
Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi
kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh
rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah
pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA.
Sistem
pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA,
karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu
perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman bin Affan RA
adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk peradilan negara Islam.
Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk berperkara.
Utsman
juga mengirim pesan-pesan kepada para pemimpin di daerah lain, petugas menarik
pajak, dan masyarakat muslim secara umum untuk menegakkan kelakuan baik dan
mencegah dari kemungkaran. Beliau memesan kepada petugas menarik pajak untuk
menarik pajak dengan adil dan jujur. Beliau memberi nasihat khusus kepada
petugas pajak dengan kata-kata berikut ini:
أما بعد, فإن الله خلق الخلق بالحق
فلا يقبل إلا الحق خذوا الحق وأعطوا الحق والأمانة الأمانة قوموا عليها ولا تكونوا
أول من يسلبها فتكونوا شركاء من بعدكم الوفاء الوفاء لا تظلموا اليتيم ولا المعاهد
فإن الله خصم لمن ظلمهم .
Dalam
memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah
sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para
sahabat.
D. Peradilan
Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah
meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai
khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga
berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya. Seumpama
tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain berdasarkan
pada ayat: {وشاورهم
في الأمر}.
Sesuai
dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar gaji
para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain
dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam,
beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang
akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa
memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang
utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan
sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula
dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang
luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib telah banyak memberi hukum atau fatwa yang dijadikan hukum
oleh orang-orang setelahnya. Salah satu kemusykilan hukum yang diselesaikan Ali
RA adalah apabila ada seorang istri yang mana suaminya meninggal dunia sebelum
suami tersebut menjimak istrinya. Sedangkan suami tersebut belum menyerahkan
mas kawin kepada istri tersebut. Maka Ali RA menghukumi bahwa tidak ada hak
bagi istri tersebut mas kawin yang sepadan (مهر المثل), karena
diqiyaskan pada wanita yang tertalak. Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
“لَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً”.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
1. Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem
peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW.
2.
Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah
kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuah dustûr
yang dibuat pegangan bagi para hakim agung.
3. Utsman
bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa yang
ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun gedung
khusus untuk peradilan Islam.
4. Ali bin
Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi krateria
orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim.
DAFTAR
PUSTAKA
Juhaya S. Praja, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, Rosda, Bandung, 2000,
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I'lam
al-Muwaqqi'in, juz II, Maktabah al Tijariah al Kubra, Mesir,
Muhammad 'Ali al-Sais, Tarikh al-Fiqh al-Islami,
Kairo
Salam Madkur, al-Qada fi
al-Islam, Dar al-Nahdhah al-Arabiah, Khairo, 1964, hal. 24
Amir Lutfi, Hukum Perubahan
Struktur Kekuasan, Susqa Press, Pekan Baru, 1991, hal. 28
[1] . hukum yg telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah Swt., spt
hukum potong tangan bagi pencuri